Tentang Ku

BLOG INI TENTANG MUSIK DAN BUDAYA

copas dari kickandy.com (http://kickandy.com/corner/2009/09/14/1684/21/1/5/Kilas-Balik)


copas dari kickandy.com (http://kickandy.com/corner/2009/09/14/1684/21/1/5/Kilas-Balik)
Saya tertegun. Darah di seluruh tubuh terasa berdesir lebih cepat. Jarum jam menunjukkan pukul 12 tengah malam. Seorang pemuda sedang menyikat lantai. Di sampingnya tergeletak sebuah ember berisi air. Tak jauh dari situ terdapat cairan pembersih. Mata saya berkaca-kaca. Saya hampir tidak percaya pemuda itu adalah anak saya, Rio.
Saya tidak menyangka Rio mau melakukan hal itu. Menyikat lantai dan mengepel. Di dadanya masih melekat “celemek” warnah hijau dengan sebuah logo yang sangat dikenal: Starbucks.

Sudah hampir tiga bulan Rio magang kerja di Starbucks. Pekerjaan utamanya membuat kopi dan melayani pembeli. Menjelang tutup, bergantian dengan teman-teman sekerjanya, dia menyapu, bersih-bersih, buang sampah, termasuk mengepel atau menyikat lantai.

Meliaht Rio melakukan pekerjaan tersebut, ada rasa haru yang menyesakkan dada. Sudah sejak lama saya ingin anak saya bekerja seperti itu. Beberapa waktu lalu saya pernah sedikit memaksa agar dia melamar di salah satu restoran cepat saji terkenal. Tetapi sayang lamarannya tidak pernah mendapat jawaban. Berkali-kali dicoba tetapi yang terakhir jawaban yang diterima mereka belum membutuhkan tenaga magang.

Saya mendorong Rio untuk magang di restoran cepat saji karena saya ingin dia merasakan apa yang dirasakan para pelayan restoran. Saya ingin dia berempati terhadap pekerjaan pramusaji. Sebab selama ini dia selalu berada pada posisi yang dilayani. Bagaimana rasanya jika sebaliknya, dia yang harus melayani?

Setelah gagal magang di restoran cepat saji, Rio akhirnya diterima magang di Starbucks. Sejak awal saya sudah menyiapkan mentalnya untuk menerima keadaan terburuk sebagai pelayan: mendapat perlakukan kasar dari pembeli.

Namun, jujur saja, ketika toh saya melihat di tengah malam anak sulung saya menyikat lantai dan mengepel, disaksikan pengunjung mall yang lalu lalang, perasaan saya campur aduk. Terharu, sedih, dan bangga menjadi satu. Apalagi ketika dia melihat ayahnya, bersama ibu dan adik-adiknya datang, Rio tertawa sembari terus bekerja. Situasi yang aneh melihat anak yang saya cintai berada di posisi melayani dan saya di posisi tamu yang dilayani.

Ingatan saya lalu kembali ke masa saya kuliah. Untuk mencari tambahan uang kuliah, selain menjual kartu-kartu ucapan yang saya lukis sendiri, saya juga menjual tenaga kepada siapa saja yang membutuhkan. Termasuk kepada kakak laki-laki saya.

Suatu ketika, kakak saya berniat mengecat rumahnya. Saya langsung menawarkan diri. Tentu dengan bayaran. Maka setiap hari, selama seminggu, sebelum kuliah saya mampir dulu ke rumah kakak saya di bilangan Kalibata, Jakarta Timur.

Selama rata-rata empat jam per hari, saya menjadi tukang cat. Seusai bekerja, mandi, baru saya ke kampus. Saya menjalani pekerjaan itu dengan penuh tanggung jawab. Sesudah selesai baru dibayar. Kakak saya dan kakak ipar saya awalnya merasa tidak nyaman. Tetapi mereka kemudian menghargai upaya saya untuk mencari tambahan uang kuliah. Jaman memang terus bergerak. Nilai-nilai berubah. Tentu saya tidak mungkin meminta anak-anak saya untuk melakukan pekerjaan yang dulu saya lakukan. Tetapi setidaknya saya berharap anak-anak saya bisa menghargai orang-orang yang keadaannya sama seperti ayahnya dulu.

AIR atau AWAN

AIR atau AWAN
Di sebuah tempat nan jauh dari kota  di Jawa Barat , tampak seorang pemuda bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan.
Ia seperti mencari sesuatu di surau itu.

"Assalamu'alaikum, Kabayan " ucapnya ke Kabayan yang terlihat sibuk menyapu ruangan surau. Spontan, si Kabayan itu menghentikan sibuknya. Ia menoleh ke si pemuda dan senyumnya pun mengembang.

"Wa'alaikumussalam. Mangga. Mari masuk!" ucapnya sambil meletakkan sapu di sudut ruangan.
Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila.

"Ada apa, Jang ?" ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup.
"Kabayan , Aku diterima kerja di kota!" ungkap sang pemuda kemudian.
"Syukurlah," timpal si Kabayan bahagia. "Kabayan, kalau tidak keberatan, berikan aku petuah agar bisa berhasil!" ucap sang pemuda sambil menunduk.

Ia pun menanti ucapan si Kabayan di hadapannya.

"Jang , Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan," untaian kalimat singkat meluncur tenang dari mulut si Kabayan.
Sang pemuda belum bereaksi. Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata Kabayan.

Tapi,tak berhasil. "Maksud, Kabayan?" ucapnya kemudian.
"Jang , Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya; air kian bersemangat untuk bergerak kebawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa mengaliri dunia dibawahnya," jelas si Kabayan dengan tenang.

"Lalu dengan awan,Kabayan?" tanya si pemuda penasaran.

"Jangan sekali-kali seperti awan, Jang. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi.
Semakin ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi," terang si Kabayan begitu bijak.

"Tapi Jang," tambahnya kemudian. "Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin."

Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.

sumber : http://pwsmedan.blogspot.com/2009/02/air-atau-awan.html (http://pwsmedan.blogspot.com/2009/02/air-atau-awan.html)

kisah Tempayan Retak

Tempayan Retak--dari milis

Seorang tukang air India memiliki dua tempayan besar, Masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan
Yang dibawa menyilang pada bahunya.
Satu dari tempayan itu retak,
Sedangkan tempayan satunya lagi tidak.
Jika tempayan yang tidak retak itu selalu membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari  mata air ke rumah majikannya. Tempayan itu hanya dapat air setengah penuh,
Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari.
Si tukang air hanya dapat membawa
Satu setengah tempayan air ke rumah majikannya.
Tentu saja si tempayan yang tidak retak
Merasa bangga akan prestasinya,
Karena dapat menunaikan  tugasnya dengan sempurna.
Namun si tempayan retak yang malang itu
Merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya
Dan merasa sedih sebab ia hanya dapat
Memberikan setengah dari porsi yang seharusnya
Dapat diberikannnya.
 
Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini,
Tempayan retak itu berkata kepada si tukang air,
"Saya sungguh malu pada diri saya sendiri,
dan saya ingin mohon maaf kepadamu."
"Kenapa?" tanya si tukang air,
"Kenapa kamu merasa malu?"
"Saya hanya mampu, selama dua tahun ini,
membawa setengah porsi air dari yang seharusnya
dapat saya bawa karena adanya retakan
pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor
sepanjang jalan menuju rumah majikan kita.
Karena cacadku itu, saya telah membuatmu rugi."
Kata tempayan itu.
Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak,
Dan dalam belas kasihannya, ia berkata,
"Jika kita kembali ke rumah majikan besok,
aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah
di sepanjang jalan."

Benar, ketika mereka naik ke bukit,
Si tempayan retak memperhatikan
Dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah
Di sepanjang  sisi jalan,
Dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanannya, Ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor,
dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada tempayan itu,
"Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga
di sepanjang jalan di sisimu
tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan
di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu
Itu karena aku selalu menyadari akan cacadmu.
Dan aku memanfaatkannya.
Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu,
Dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air,
Kamu mengairi benih-benih itu.
Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga
Indah itu untuk menghias meja majikan kita.
Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang. "
Setiap dari kita memiliki
Cacad dan kekurangan kita sendiri.
Kita semua adalah tempayan retak.
Namun jika kita mau,
Tuhan akan menggunakan kekurangan kita
Untuk menghias-Nya.
Di mata Tuhan yang bijaksana,
Tak ada yang terbuang percuma.
Jangan takut akan kekuranganmu.
Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun
Dapat menjadi sarana keindahan Tuhan.
Ketahuilah, didalam kelemahan kita, kita menemukan kekuatan kita.

Kisah Keledai

keledai

Suatu hari ada seekor keledai milik seorang petani yang jatuh ke dalam sumur yang dalam dan kering. Binatang tersebut menangis dengan nyaring selama beberapa jam sementara itu sang petani tersebut mencoba mencarikan jalan keluarnya. Akhirnya, dia memutuskan bahwa keledai itu sudah terlalu tua, sumur itu juga perlu ditutup, dan menolong keledai tersebut merupakan suatu usaha yang sia-sia belaka. Sehingga dia mengundang tetangganya untuk datang ke lokasi guna membantunya mengubur keledai tersebut di dalam sumur untuk menghentikan kesengsaraannya.

Mereka semuanya memegang sekop dan mulai menimbunkan tanah ke dalam sumur. Pada awalnya, keledai tersebut menyadari apa yang sedang terjadi dan lagi-lagi menangis dengan begitu memilukan. Tidak lama kemudian, semua orang menjadi tercengang karena keledai tersebut tiba-tiba diam. Setelah beberapa sekop kemudian, petani tersebut melongok ke dalam sumur dan begitu terpana atas apa yang dilihatnya. Keledai tersebut melakukan suatu hal yang memukau atas setiap sekop tanah yang menimpa punggungnya. Keledai tersebut melepaskannya dengan menggoyangkan badannya dan lalu melangkah naik ke atas tanah yang telah jatuh tersebut!

Setiap kali mereka menjatuhkan tanah ke atas binatang tersebut, ia akan melepaskannya dan melangkah ke atasnya. Tidak lama kemudian, semua orang terperangah begitu sang keledai memenangkan perjuangan tersebut dengan melangkahi tepi sumur dan meloncat keluar!

I love Me

Ada orang-orang yang kurang percaya diri. Biasanya mereka disebut minder. Tapi ada juga yang sama sekali tak dapat menerima dirinya, yang tak bisa menyukai diri sendiri, yang selalu menemukan sesuatu di dalam diri yang membuatnya tidak puas... bahkan membenci dirinya sendiri! Saya tidak tahu mereka itu disebut apa. Tapi ternyata cukup banyak orang yang terkena “virus” itu dan masa kini penyebarannya telah mencapai tingkat wabah! Menyedihkan, namun sungguh itulah yang merampas kebahagiaan sejati dari banyak orang.

Masalahnya adalah jika kita tidak bisa menerima diri sendiri apa adanya, dan bahkan tidak bisa menyukai diri kita, maka kita mulai mencari topeng, alias suatu alternatif yang akan membuat kita merasa nyaman. Misalnya koleksi barang bermerek. Ada orang-orang yang menjadikan barang-barang branded itu sebagai simbol statusnya. Seorang pemilik handphone Vertu, handphone fashion yang harganya bisa sampai ratusan juta, saat ditanya mengapa dia punya hape mahal seperti itu, menjawab, “Ya gimana ya, barang kayak gini kan jarang, limited, jadi kalo kita punya, wah kesannya sih keren. Kita merasa hebat dan berharga karena barangnya berharga!” Bagi orang ini, barang dan aksesori menentukan identitasnya!

Ada seorang yang bangga menjadi pemilik mobil BMW. Setelah dia dapat tempat parkir, dia sedang keluar dari mobilnya dan tiba-tiba ada mobil lain dari belakang datang dengan kecepatan sangat tinggi menabrak dan menghancurkan pintu mobilnya bersama dengan seluruh lengannya! Saat polisi datang untuk memeriksa kecelakaan, mereka melihat pria ini berteriak dengan histeris sambil memandang mobilnya itu, “Ya ampun, mobil saya! Mobil saya! Hancur!” Seorang polisi menyapanya, “Maaf Bapak, apa Bapak tidak sadar kehilangan lengannya?” Saat ia melihat bahwa memang tangannya sudah tidak ada, ia berteriak, “Ya ampun, dimana jam-tangan Rolex saya?” Kita bisa menjadi begitu terobsesi dengan yang tidak penting sehingga kita kehilangan fokus dan prioritas! Dan akhirnya itulah yang menjadi kacamata gelap yang mewarnai pandangan kita baik terhadap diri sendiri maupun terhadap sesama.

Jadi mengapa kita harus sungguh-sungguh menyukai dan mengasihi diri sendiri apa adanya? Karena kita begitu disukai dan dikasihi Tuhan apa adanya. Bagi Dia kita lebih penting dari segalanya dan kita sangat berharga di mata-Nya. Dalam beberapa hari yang akan datang ini, yang kita sebut Pekan Suci, kita akan merenungkan dan merayakan bersama bukti dari Cinta Kasih itu.

Jelas kita ini ada tempat yang istimewa di dalam Hati Tuhan. Jika kita begitu dikasihi-Nya, tak ada alasan lagi untuk memakai topeng atau barang yang branded.

(P.Noel Villafuerte,SDB)

Kisah mengharukan, Mandikan Aku Bunda -

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ”selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
– Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

– Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.

– Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.

– Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada