Kebudayaan Bangka Belitung
1. Tari Campak
Tari Campak merupakan salah satu tarian
Tradisional yang ada di Pulau Bangka Belitung. Tari Campak menggambarkan
kecerian Bujang Dayang (muda-mudi) yang ada di Pulau Bangka Belitung.
Tari
Campak ini biasanya dibawakan setelah panen padi atau sepulang dari uma
(kebun). Tarian ini berupa pantun bersambut yang biasanya didendangkan
oleh sepasang penari yang terdiri dari Penari Perempuan yang disebut nduk campak dan Penari Pria yang disebut penandak.
Tari
Campak diiringi dengan irama yang khas yaitu tabuhan dari Gendang,
Biola, dan Gong yang ditabuh/dipukul secara berkala. Para Penari
menggunakan Selembar Saputangan yang dikibas-kibaskan mengiringi lenggok
gemulai para Penari. Pasa saat tarian ini berlangsung biasanya penonton
bebas memberi Sawen kepada Penari Perempuan (nduk campak).
Tari Campak ini digunakan sebagai hiburan dalam berbagai penyambutan tamu atau pada saat pernikahan di Pulau Bangka Belitung
2.MANDI BELIMAU
Upacara diawali dengan kegiatan Napak Tilas yaitu melakukan ziarah dan tabur bunga di makam Depati Bunter, Desa Kimak yang ditempuh dengan menggunakan perahu motor untuk menyeberang sungai. Setelah melakukan ziarah semua orang yang ikut kegiatan ini pulang kembali dan menuju Dusun Limbung Desa Jada Bahrin untuk melakukan ritual Mandi Belimau tersebut.
Ritual Adat Mandi Belimau dimulai dengan Pengutaraan niat yang disertai doa yang dipimpin oleh Haji Ilyasak keturunan kelima dari Depati Bahrin yang sekarang adalah sebagai Pemuka Adat Kecamatan Merawang. Dalam Upacara ini Haji Ilsyak sebagai pemimpin menggunakan Kain Putih,sementara lima Pemuka Adat lainnya yang membantu menggunakan kain berwarna Hijau, Merah, Kuning, Hitam, dan Kelabu. Selanjutnya pelaksanaan mandinya dilakukan di depan Sungai Limbung, yang dimulai dengan membasahi telapak tangan dari kanan dan kiri, kemudian kaki kanan dan kiri yang diteruskan membasahi ubun-ubun dan seluruh anggota tubuh dengan siraman air yang dicampur dengan jeruk limau yang disimpan dalam gentong air.
Masyarakat yang ingin dimandikan sebelumnya dianjurkan terlebih dahulu
berdoa apa saja untuk kebaikan mereka. Selain itu banyak masyarakat yang juga membawa pulang air yang digunakan pada ritual Mandi Belimau ini karena mereka meyakini bahwa air ini mempunyai khasiat tertentu.
Ritual adat Mandi Belimau ini adalah simbol-simbol tradisi yang baik untuk perenungan dan pensucian diri baik lahir maupun batin. Diharapkan simbol-simbol Mandi Belimau ini dapat membekas bagi masyarakat untuk kehidupan selanjutnya dan bukan hanya prosesi saja.
Gambar: metrobangkabelitung.wordpress.com & http://www.bangka.go.id/
3.SEMBAHYANG REBUT (CHIT NGIAT PAN)
Sembahyang Rebut atau Chit Ngiat Pan adalah salah satu adat kepercayaan warga Tionghoa yang ada di Pulau Bangka Belitung. Warga Tionghoa percaya pada tanggal 15 bulan 7 menurut perhitungan tanggal Cina pintu akhirat terbuka lebar, sehingga arwah-arwah yang berada didalamnya keluar dan bergentayangan di Dunia. Di Dunia arwah-arwah ini terlantar dan tidak terawat oleh karena itu manusia (warga Tionghoa) menyiapkan ritual khusus untuk memberi bekal seperti makanan, pakaian, dan uang agar arwah-arwah ini tidak mengganggu manusia.
Ritual Sembahyang Rebut ini, tidak hanya dikunjungi oleh warga Tionghoa saja tapi ada juga warga-warga lainnya.
Ritual ini dimulai dengan pembacaan doa sambil membakar Hio oleh para pengunjung di dalam kuil (disebut Sembahyang). Selain di dalam kuil diluar kuil juga diletakan sesajian-sesajian yang diletakkan di Altar besar, dan katanya sesajian inilah yang menjadi jamuan untuk para arwah. Setelah itu ritual dilanjutkan dengan upacara Rebutan Sesajian yang ada di Altar tersebut.
Puncak dari ritual ini adalah pembakaran Patung Thai Se Ja. Patung Thai Se Ja ini dibuat dari kertas. Patung ini disimbolkan sebagai dewa akhirat yang akan membawa arwah-arwah yang gentayangan tersebut kembali ke akhirat. pada saat pembakaran Patung Thai Se Ja juga di bakar rumah-rumahan,uang-uangan, dan pakaian yang juga dibuat dari kertas. Semua barang-barang ini konon katanya digunakan para arwah pada saat perjalanan pulang kembali ke akhirat.
Pembakaran Patung Thai Se Ja menandakan bahwa arwah-arwah telah kembali ke dunianya lagi. Dan manusia dapat menjalani kehidupan di duina lagi tanpa takut diganggu arwah-arwah gentayangan tersebut.
Gambar: flicky.com/photos & arsip.pontianakpost.com
4. BUANG JONG
Asal Mula Upacara Buang Jong
Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya selama ratusan tahun menetap di lautan, baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan dan hanya pergi ke laut apabila ingin mencari hasil laut. Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang didalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal).
Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yaitu antara bulan Agustus-November. Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyaraka suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka pada saat berlayar ke laut untuk mencari ikan. Upacara Buang Jong ini dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam.
Alur Pelaksanaan Upacara Buang Jong
Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yaitu prosesi mengundang mahluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang, Pada saat prosesi Berasik berlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.
Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan mengoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa keempat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan untuk ikiut bergabung dalam ritual Buang Jong ini. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut Jitun.
Selain menampikan Tarian Ancak, masih ada tarian lain yang juga ditampilkan dalam upacara Buang Jong yaitu Tarian Sambang Tari. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan kehilangan arah, burung inilah yang menunjukan jalaan pulang untuk para nelayan. Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual
Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya selama ratusan tahun menetap di lautan, baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan dan hanya pergi ke laut apabila ingin mencari hasil laut. Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang didalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal).
Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yaitu antara bulan Agustus-November. Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyaraka suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka pada saat berlayar ke laut untuk mencari ikan. Upacara Buang Jong ini dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam.
Alur Pelaksanaan Upacara Buang Jong
Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yaitu prosesi mengundang mahluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang, Pada saat prosesi Berasik berlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.
Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan mengoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa keempat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan untuk ikiut bergabung dalam ritual Buang Jong ini. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut Jitun.
Selain menampikan Tarian Ancak, masih ada tarian lain yang juga ditampilkan dalam upacara Buang Jong yaitu Tarian Sambang Tari. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan kehilangan arah, burung inilah yang menunjukan jalaan pulang untuk para nelayan. Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual
Numbak Duyung, yaitu mengikat tali pada sebuah pangkal tombak sambil membaca mantra. Mata tombak yang sudah dimantrai ini sangat tajam, sehingga konon katanya dapat digunakan untuk membunuh ikan duyung. Ritual kemudian dilanjutkan dengan memancing ikan di laut. Konon bila ikan yang di dapat banyak maka orang yang mendapat ikan tersebut tidak diperbolehkan untuk mencuci tangan di laut.
Setelah itu upacara Buang Jong dilanjutkan dengan acara jual-beli Jong. Pada acara ini orang darat (penduduk sekitar perkampungan Suku Sawang) juga dilibatkan. Jual-beli disini bukan menggunakan uang tetapi pertukaran barang antara orang darat dengan orang laut. Pada acara ini, dapat terlihat bagaimana orang darat dan orang laut saling mendukung dan menjalin kerukunan. Dengan perantara dukun, orang darat meminta orang laut mendapat banyak rejeki, sementara orang laut meminta agar tidak dimusuhi pada saat berada di darat. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Beluncong, yaitu menyanyikan lagu-lagu khas Suku Sawang dengan bantuan alat musik sederhana. Usai Beluncong, acara disambumg dengan Nyalui, yaitu acara untuk mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal.
Upacara ini diakhiri dengan melarung atau membuang miniatur kapal bersama berbagai macam sesajian ke laut. Setelah pelarungan, masyarakat Suku Sawang dilarang untuk melaut selama tiga hari ke depan.
Tempat Pelaksanan Upacara Buang Jong
Biasanya Upacara Buang Jong ini diadakan di kawasan Pantai yang dekat dengan perkampungan masyarakat Suku Sawang. Salah satunya adalah di kawasan Pantai Tanjung Pendam, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung.
5 Beripat Beregong
Beripat Beregong adalah salah satu permainan yang sampai sekarang masih digemari oleh masyarakat Belitung. Beripat Beregong dimainkan oleh dua orang pria yang saling memukul punggung masing-masing dengan menggunakan sebuah rotan khusus. Permainan ini diiringi oleh alat musik tradisional seperti: gong, tawak, kelinang dan serunai. Di masa lalu orang Belitung menjadikan permainan Beripat Beregong sebagai ajang untuk mengukur keberanian para pendekar, tetapi sekarang permainan ini dimainkan sebagai hiburan dalam festival tradisional seperti Maras Taun dan Selamat Kampong.Beripat beregong
6. Lepat Beras
Caesar Alexey
Sebagai perayaan syukur atas panen padi, para penduduk menggelar acara menumbuk padi bersama-sama. Beras yang dihasilkan oleh acara penumbukan padi itu akan digunakan untuk acara makan beras baru dan membuat lepat.
Lepat pada acara maras taun tidak dibuat dari beras ketan, tetapi dari beras ladang yang berwarna merah. Lepat tersebut diisi sepotong kecil ikan atau daging sehingga memberi aroma gurih.
Lepat dibuat dalam dua ukuran, yakni normal (selebar dua jari orang dewasa) dan raksasa. Lepat raksasa dalam perayaan Maras Taun kali ini beratnya sampai 60 kilogram, sedangkan lepat kecil dibuat 5.000 buah.
Pada akhir acara, lepat besar dipotong dan dibagikan kepada masyarakat dan pejabat lokal yang hadir. Sementara itu, lepat kecil yang diletakkan dalam sebuah pondok bambu, yang bernama pondok membarong, boleh menjadi rebutan penduduk.
Sebagai pesta rakyat, maras taun di Selat Nasik sudah dirayakan dua hari sebelumnya. Selama tiga hari itu masyarakat yang hadir disuguhi berbagai pertunjukan kesenian, baik dari desa itu maupun dari wilayah-wilayah lain.
Pada malam sebelum acara, kesenian seperti stambul (keroncong) fajar khas Belitung, tari piring khas minang dan teater Dulmuluk dari Sumatera Selatan dipertontonkan. Pentas musik dengan organ tunggal juga digelar untuk menghibur rakyat yang berpesta.
Makanan yang dihidangkan dalam pesta rakyat ini didominasi oleh makanan laut. Berbagai jenis ikan, kepiting, udang, dan cumi-cumi dimasak dengan berbagai cara. Kegembiraan terpancar dari wajah semua penduduk karena mereka yang mempersiapkan detail acara, mulai dari makanan sampai hiburan secara mandiri
7. Maras Taun
Maras taun berasal dari kata maras yang berarti meniris (membersikan duri halus) sedangkan taun berasal dari kata tahun. Maras tahun diadakan setiap setahun sekali oleh masyarakat Belitung didesa dan kecamatan sebagai wujud
rasa syukur setelah melewati musim panen padi. Maras taun merupakan pertanggung jawaban dukun kampung kepada masyarakat. Ritual utama maras taun adalah: doa awal, tepong taw bwlitung dan doa penutup. Dalam perayaan ini kita bias menyaksikan kesenian tradisonal khas Belitung seperti tari sepen, nutok lesong panjang dan ngemping
Tahun ini rencananya Perang Ketupat akan berlangsung pada tanggal 17 Juli mendatang. Seperti biasanya, acara adat ini selalu terpusat di Pantai Pasir Kuning, desa Tempilang.
Saya sendiri sebenarnya belum pernah secara langsung menyaksikan Perang Ketupat berhubung waktu dulu tinggal di Bangka, jarak dari rumah ke desa Tempilang cukup jauh. Tapi saya seringkali melihat foto – foto terbaru atau mendengar cerita langsung tentang Perang Ketupat dari tetangga saya yang kebetulan asli sana.
Tidak ada catatan sejarah yang pasti kapan tradisi Perang Ketupat pertama kali dimulai. Ada yang mengatakan bahwa Perang Ketupat dimulai sejak jaman penjajahan Portugis, ada juga yang berpendapat tradisi ini telah ada saat Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Namun yang pasti, Perang Ketupat telah dilaksanakan secara turun temurun dan tetap dilakukan hingga sekarang.
Sebagai wisata budaya, Perang Ketupat cukup menarik minat wisatawan lokal, nasional, maupun mancanegara. Buktinya, jika dulu hanya masyarakat sekitar desa Tempilang yang sering menonton saat ini pelaksanaan Perang Ketupat terbuka untuk umum dan diselenggarakan besar – besaran dengan disediakannya panggung serta area khusus penonton, panggung budaya, serta pentas hiburan dari artis – artis lokal maupun artis Ibu Kota.
Menurut para sesepuh desa, Perang Ketupat merupakan upacara adat yang dilakukan untuk memberi makan makhluk – makhluk halus di desa Tempilang agar tidak menjadi roh jahat. Upacara adat berlangsung selama dua hari dimana pada hari pertama upacara dilakukan pada malam hari. Upacara dimulai dengan beberapa tarian untuk mengiringi sesaji yang diletakkan pada semacam rumah – rumahan yang dikenal dengan nama penimbong
Sumber berbagai Situs bangka Belitung
0 comments:
Post a Comment